Rabu, 10 Oktober 2018

Tidak Ada Jaminan Sejahtera Dengan Meninggalkan Dakwah

*Tidak Ada Jaminan Sejahtera Dengan Meninggalkan Dakwah*

Oleh: Ust Iwan Januar

Hari itu saya bertemu dengan kawan lama. Ia yang sudah keluar dari barisan. Keluar karena merasa langkah perjuangan tak memberikannya 'apa-apa'. Apa 'apa-apa' yang ia maksud? Kesejahteraan dan kemakmuran.

Masih terngiang di telinga saya perkataannya, "Ketika saya kumpul dengan kawan-kawan sekolah, mereka lebih baik dari saya." Baik yang ia maksudkan adalah memiliki kehidupan yang mapan dan keberlimpahan dunia.

Saat itu ia tengah meratapi nasib. Kesulitan demi kesulitan hidup mendera. Ia merasa kawan-kawan seperjuangan tak mendukung dan memberi apa-apa. Ia gelisah waktu itu. Berada di persimpangan. Meski saya tahu arahnya, separuh langkahnya sudah menuju jalan keluar dari barisan perjuangan.

Saya katakan dengan lembut. Engkau tidak sendirian. Banyak pejuang yang juga pernah merasakan kegetiran sementara orang lain ada dalam manisnya dunia. Mereka pun pernah hampir tergoda untuk sesali pilihan hidup. Memilih untuk menunda punya 'apa-apa' karena sebuah obsesi. Obsesi yang seringkali sulit dipahami logika manusia biasa.

Sejujurnya, pejuang syariah dan khilafah adalah manusia. Mereka pun bisa terpukau melihat insan lain menggenggam dunia yang berkilau. Ketika orang-orang yang kau kenal bertanya; kenapau engkau memilih hidup seperti ini? Mata mereka memandang apa yang kau punya, lalu mereka bandingkan dengan apa yang ada dalam saku mereka, rekening mereka, dan hati mereka. Terkadang nafas seorang hamba Allah bisa tercekat di tenggorokan melihat dirinya sendiri. Ada sedikit perasaan nelangsa di sudut hati yang kering.

Tapi mari ingatlah pesan Sang Pemilik Alam, Penggenggam Segala Kekayaan, karena Dialah Yang Mahakaya dan Mengayakan hamba-hambaNya:

" Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat." (QS. Asy-Syura[42]: 20).

Jalan hidup ini memang pilihan. Tak ada yang memaksakan, kitalah yang memilih dengan kesadaran dan kehangatan iman. Maka sang Pemilik Alam akan memenuhi janjiNya sebagaimana telah Ia firmankan. Maka jangan pernah sesali pilihan hidup ini, karena di ujung jalan ada gerbang kebahagiaan sejati. Telah banyak pejuang sejati yang nyaris tak mendapatkan apa-apa di dunia untuk menggenggam ridlo Tuhan mereka. Bahkan mereka mengorbankan apa yang mereka punya untuk bisa berada di jalan ini.

Syahdan Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah saw. Ia diutus oleh Allah untuk menanyakan keadaan Abu Bakar ra. yang kala itu berada di sebelah sang Nabi. Ia mengenakan jubah yang tak layak disebut jubah, karena hanya sehelai kain panjang yang dibelah dua lalu ia kenakan pada tubuh kurusnya yang menjulang.

Jibril bertanya kepada Rasulullah saw., mengapa pakaian itu yang dikenakan oleh Abu Bakar. Tentu sebuah pertanyaan retoris karena Allah telah tahu jawabannya. Sang Nabi menjawab hal itu dilakukan Abu Bakar karena semua hartanya telah dihabiskan sebelum penaklukkan Mekkah.

Jibril lalu berkata, "Katakan padanya, duhai Muhammad; 'Rabbmu menanyakan kepadanya 'apakah ia ridlo kepadaKu dengan kefakirannya ataukah ia marah?'."

Rasulullah saw. meneruskan perkataan Jibril kepada Abu Bakar. "Duhai Abu Bakar, ini Jibril membacakan salam untukmu dari Allah Ta'ala, dan Dia berkata, 'Apakah engkau ridlo kepadaKu dalam kefakiranmu, ataukah engkau marah?'."

Abu Bakar terhenyak mendengar ucapan Rasulullah saw. Sambil bercucuran air mata ia menjawab, "Apakah kepada Rabbku aku marah? Aku ridlo pada Rabbku, aku ridlo pada Rabbku."(Hilyatul Auliya, juz &, hal 105, Maktabah asy-Syamilah).

Janganlah ratapi apa yang sedang kita dapatkan hari ini, lalu mata terpaku pada apa yang orang lain punya. Apa yang kita punya saat ini hanyalah sementara, bukan sebenarnya kepunyaan kita. Di sisi Allah jualah sebenarnya yang kita minta.

Siapa yang menginginkan bagiannya di dunia, maka akan Allah berikan bagiannya tapi tak ada untuknya di akhirat. Tapi siapa yang menginginkan b

Sabtu, 24 Maret 2018

*MENEGAKKAN KHILAFAH* *WUJUD KETAATAN KEPADA ALLAH SWT*

Buletin Kaffah No. 32_28 Jumadul Akhir 1439 H – 16 Maret 2008 M

*MENEGAKKAN KHILAFAH*
*WUJUD KETAATAN KEPADA ALLAH SWT*

 

Ada sebagian orang saat ini yang seolah menganggap ajaran Islam harus dipegang teguh jika dinyatakan secara tekstual di dalam al-Quran. Jika tidak, maka seolah itu bukan ajaran Islam. Jika pun dianggap sebagai ajaran Islam, ia tidak perlu diutamakan dan diamalkan; boleh saja ditinggalkan. 

Contohnya adalah tentang Khilafah. Mereka menolak Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Mereka berdalih, Khilafah tidak ada di dalam al-Quran. Yang ada dalam al-Quran, kata mereka, adalah khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30), bukan khilafah. 

Lalu ada yang menyatakan bahwa khalifah itu tidak ada hubungannya dengan Islam. Pasalnya, kata dia, Nabi Adam as. menjadi khalifah karena dua hal: Pertama, karena mengetahui nama-nama, dan itu artinya adalah profesional. Kedua, karena menang tanding melawan malaikat. Karena itu, menurut dia, siapapun adalah khalifah jika memenuhi dua kualifikasi: memiliki profesionalisme dan menang tanding. Seorang hakim adalah khalifah karena memiliki profesionalisme dan menang tanding menyingkirkan sarjana hukum lainnya. Menurut dia pula, Donald Trump adalah khalifah tingkat dunia, sedangkan Jokowi adalah khalifah tingkat nasional.

Pernyataan di atas jelas ngawur! Pasalnya, banyak ajaran Islam yang tidak disebutkan secara tekstual di dalam al-Quran. Penolakan terhadap Khilafah dengan alasan tidak ada dalam al-Quran juga menyiratkan penolakan terhadap apa yang tercantum dalam as-Sunnah. Seandainya mau melihat as-Sunnah, tentu akan mudah menemukan banyak nas yang menyatakan dan membicarakan Khilafah dan khalifah atau imam.

Kalaulah Khilafah dianggap sebagai hal yang masih diperselisihkan, tetap hal itu harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Pasalnya, kaum Muslim memang wajib mengembalikan semua perkara pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

﴿فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ...﴾
Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari akhir... (TQS an-Nisa' [4]: 59).


Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Allah SWT berfirman (yang artinya): Kembalikanlah persengketaan dan ketidaktahuan itu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berhukumlah pada keduanya dalam apa yang kalian perselisihkan jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam obyek perselisihan pada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak merujuk pada keduanya bukanlah orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir."

Sebagaimana ayat di atas, banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan hukum Islam. Contohnya adalah firman Allah SWT:

﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
Putuskan hukum di antara mereka berdasarkan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).


Perintah semacam ini bertebaran dalam al-Quran seperti dalam: QS al-Maidah [5]: 48-49; an-Nisa' [4]: 59, 60, dan 65; al-Hasyr [47]: 7; al-Ahzab [33]: 36; an-Nur [24]: 63; dan lain-lain. 

Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullah saw. diutus hingga Hari Kiamat (lihat: QS Saba` [34]: 28 dan  al-A'raf [7]: 158).

Banyak kewajiban yang Allah SWT perintahkan di dalam al-Quran, misalnya dalam perkara kepemimpinan; dalam perkara ibadah yang memerlukan peran penguasa seperti pemungutan zakat, masalah ekonomi, jihad, hudûd dan jinâyat dan sebagainya.  Penerapan hukum-hukum itu memerlukan penguasa sebagai pelaksananya. Sejak hijrah ke Madinah, Rasul saw. adalah pihak yang mengimplementasikan semua hukum itu sebagai seorang kepala negara. Sebagai kepala negara, beliau juga mengangkat para pejabat dalam struktur Daulah Islam yang beliau dirikan untuk menjalankan hukum dan mengurus urusan umat seperti wali (gubernur), qâdhi (hakim), para kâtib (sekretaris) dan polisi. Beliau juga membentuk angkatan perang, menunjuk panglima dan sebagainya. Pasca beliau, para khalifahlah yang melanjutkan kepemimpinan atas umat. Hal ini beliau jelaskan dalam sabda beliau:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ»
Bani Israil dulu dipimpin dan diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Dalam hadis ini, Rasul saw. menyatakan bahwa beliau mengurusi umat sebagaimana para nabi terdahulu mengurusi Bani Israel. Lalu seolah Rasul saw. menjawab pertanyaan yang bisa muncul tentang siapa yang menjalankan peran pengurusan umat itu sepeninggal beliau. Pasalnya, tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Beliau lalu secara gamblang menyatakan, tugas dan peran itu dijalankan oleh para khalifah. Jadi penerapan hukum, penjagaan agama dan pengurusan umat sepeninggal Nabi saw. dijalankan oleh para khalifah. 

Di sinilah Ibnu Khaldun menyatakan, "Ketika telah jelas bagi kita hakikat jabatan tersebut, bahwa jabatan itu merupakan wakil dari pemilik syariah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia, disebut Khilafah dan Imamah. Adapun pelaksananya adalah khalifah atau imam." (Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 97).

Maka dari itu, mudah dipahami kewajiban mengangkat seorang khalifah/imam. Pasalnya, semua hukum yang wajib diterapkan—seperti hudûd, jinâyat, dan sebagainya—akan  terlantar ketika tidak ada khalifah seperti sekarang. Imam Hasan an-Naisaburi berkata: 

أَجْمَعَتْ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنَّ اْلمخَاطَبَ بِقَوْلِهِ ﴿فَاجْلِدُوْا﴾ هُوَ اْلإِمَامُ حَتَّى احْتَجُّوْا بِهِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ اْلإِمَامِ فَإِنَّ مَا لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dengan firman-Nya: "Cambuklah oleh kalian…" adalah Imam (Khalifah) hingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat imam (khalifah). Pasalnya, suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib (An-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465).

Kewajiban mengangkat imam/khalifah sama dengan kewajiban menegakkan Khilafah. Hal itu juga ditegaskan dalam sabda Rasul saw.:

«مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-'Uzhma 'inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah, hlm. 49).

Hakikat ini dipahami betul oleh para Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, "Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw." (Al-Haitami, Ash-Shawâ'iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Imam Thahir ibnu 'Asyur dalam Tafsir At-Tahrîr wa at-Tanwîr juga menegaskan, "Para Sahabat telah bersepakat setelah Nabi saw. wafat untuk mengangkat seorang khalifah demi menegakan sistem umat dan menjalankan syariah. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama dan umat secara umum yang menentang ijmak ini kecuali orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelasnya petunjuk kepada mereka, yaitu kalangan bangsa Arab yang keras kepala dan para penyeru fitnah. Berdebat dengan orang-orang seperti mereka adalah sia-sia."

Ijmak Sahabat itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14). Jadi Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah tidak bisa dibatalkan oleh kesepakatan orang sesudahnya, termasuk kesepakatan orang zaman sekarang, kalaupun benar ada kesepakatan itu.  

Apalagi faktanya Ijmak Sahabat tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini dikuatkan oleh kesepakatan para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, "Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Imam an-Nawawi juga menegaskan hal yang sama dalam Syarh Shahîh Muslim.

Karena merupakan kewajiban berdasarkan syariah, berarti menunaikan kewajiban ini mendatangkan pahala dan upaya mengabaikannya berkonsekuensi dosa. Dengan demikian perjuangan untuk mewujudkan Khilafah dan mengangkat khalifah jelas merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT bahkan merupakan bagian ketaatan yang utama. Jika ada yang menganggap upaya menegakkan Khilafah sebagai pembangkangan kepada Allah SWT, jelas itu adalah anggapan yang keblinger!

WalLâh a'lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
Tentang apa saja kalian berselisih maka hukum (putusan)-nya kembali kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada Dialah aku bertawakal dan kepada dia pula aku kembali (TQS asy-Syura [42]: 10). []

Senin, 05 Maret 2018

Apa itu pejuang islam


Oleh : Muhammad Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI)

Apa sih yang Parpol Islam perjuangkan? 

Ada tiga kemungkinan. Pertama, hanya ingin orang Islam berkuasa. Kedua, ingin orang Islam berkuasa dan sekedar mewarnai, misalnya hanya dengan merubah aspek moralitasnya. Ketiga, ingin orang Islam berkuasa, sekaligus bisa memimpin dengan cara Islam.

Kalau yang kita maui itu yang ketiga, maka perjuangan yang dilakukan bukan sekedar menjadikan orang Islam berkuasa, tetapi bagaimana juga agar sistem yang berjalan itu adalah sistem Islam. Karena hanya bila sistem Islam itu berjalan maka dia bisa memimpin dengan cara Islam.

Sebab kalau sistem Islam itu tidak berjalan maka dia tidak akan mungkin memimpin dengan cara Islam. Agar sistem Islam berjalan berarti kita memerlukan perjuangan politik yang ideologis. Karena ini memerlukan perubahan sistem, dari sistem yang lama ke sistem yang baru. Itulah yang disebut dengan perubahan ideologis. Perubahan ideologis itu dilakukan oleh parpol Islam yang ideologis.

Kalau tetap mengusung Islam suara sedikit bagaimana?

Ada dua model politik, yakni politik perubahan dan politik pemilu. Kalau yang dimaksudkan itu adalah perjuangan politik pemilu memang orientasinya memperbesar suara. Maka fikiran kita adalah bagaimana memikat hati orang.

Itulah yang membuat parpol Islam mengikuti pula pola dari parpol non Islam sekedar untuk memikat pemilih. Kalau kemudian dia merasa keislamannya itu menjadi penghalang orang lain untuk memilih, maka kecenderungannya dia akan melepaskan keislamannya itu untuk membuat nyaman orang untuk memilih.

Sedangkan politik perubahan adalah parpol Islam melakukan perjuangan politik bukan untuk meraih kemenangan dalam pemilu tetapi bagaimana melakukan perubahan-perubahan politik.

Perubahan politik itu ada yang formal prosedural dan formal non prosedural. Contoh kasus 1998, itukan formal non prosedural. Kalau prosedural kan mestinya tahun 1998 itu tidak jatuh, tetapi tetap menjadi presiden sampai 2003.

Nah, formal non prosedural tidak selamanya jelek karena ketika orang lain setuju dengan tujuannya orang tersebut akan mendukung.

Kembali ke politik pemilu, sebenarnya Islam itu barang bagus hanya untuk orang agar memilih barang bagus itu harus memahami. Jadi tugas berat dari parpol Islam itu membuat bagaimana agar orang tersebut memilih barang bagus.

Karena ketika tidak paham barang bagus tersebut dianggap sebagai barang yang membahayakan. Contoh sederhananya obat. Obatkan pahit, orang tidak suka kan? Tetapi karena orang paham bahwa obat itu bagus walaupun mahal-mahal tetap saja dibeli.

Di sinilah sebenarnya tugas penting parpol Islam itu bagaimana memahamkan masyarakat akan Islam dan parpol Islam yang memperjuangkannya, sehingga masyarakat mendukung. Kalau ini dilakukan maka akan sejalan dengan politik perubahan tadi.

Lantas apa yang harus dilakukan parpol Islam?

Pertama, tetap berpegang teguh kepada keislamannya itu. Tidak boleh bergeser walau seinci sekali pun. Kedua, tidak boleh mengaburkan jatidirinya dengan kalimat macam-macam, jadi tetap harus ditunjukkan jatidirinya adalah Islam.

Ketiga, keislamannya itu ditunjukkan melalui dua hal, yakni pemikiran-pemikiran yang diperjuangkannya, "beginilah kalau Islam memimpin dan mengatur". Dan ditunjukkan melalui orangnya, partainya, tokoh-tokohnya.

Keempat, menolak dengan tegas semua ideologi dan sistem di luar Islam. Seperti kapitalisme, sekularisme, komunisme, sosialisme, dll.

Saya melihat selama ini itu, ya mungkin dasarnya itu Islam tetapi jatidirinya kabur. Pemikiran yang diembannya juga tidak jelas. Kemudian prilaku dari tokoh-tokohnya itu tidak berbeda dari parpol non Islam. Apalagi sampai berkoalisi dengan parpol sekuler.

Wal hasil orang akan melihat tidak ada beda parpol Islam dengan parpol non Islam. Ketika itu terjadi orang merasa tidak ada perlunya mendukung parpol Islam. Toh sama saja dengan parpol sekuler

Sumber :

==========

Iringi geliat kebangkitan umat dengan Menyebarkan Opini ini
Dari Redaksi #FareasternMuslimah
Menggiatkan opini #MuslimahTimurJauh untuk Kebangkitan Islam dari Timur
Twitter #MuslimahTimurJauh @FareastMuslimah 
Instagram @muslimah_timur_jauh