Kamis, 28 Juli 2011

khilafah : Janji Allah Swt

Di antara janji Allah SWT yang diberikan kepada umat Islam adalah istikhlaf fi al-ardh. Istikhlaf fi al-ardh bermakna menjadi penguasa atau pengatur urusan manusia (khalifah atau imam) di seluruh dunia. Janji yang agung ini difirmankan Allah SWT dalam al-Quran sebagai berikut:

وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).

Imam Al-Baidhawi di dalam Tafsir al-Baydhawi menyatakan:

Frasa layastakhlifannahum artinya adalah: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka. Hal itu sebagaimana halnya Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jababirah (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).

Di dalam beberapa hadis sahih, Nabi Muhammad saw. telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Rasulullah saw. antara lain pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبِهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُرِيَ لِي مِنْهَا…

Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini Imam an-Nawawi asy-Syafii ra. juga menyatakan:

…فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ مُلْكُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَكُوْنُ مُعْظَمُ اِمْتِدَادِهِ فِيْ جِهِتَي الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَهَكَذَا وَقَعَ وَأَمَّا فِيْ جِهَتَيْ الْجُنُوْبِ وَالشِّمَالِ فَقَلِيْلٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat. Inilah yang telah terjadi. Adapun pada arah selatan dan utara maka itu lebih kecil jika dinisbahkan pada timur dan barat (Imam Syams al-Haqq al-'Azhim, 'Awn al-Ma'bud bi Syarh Sunan Abu Dawud, IX/292).

Jumat, 22 Juli 2011

Keadaan akhir zaman

إِنَّهُ سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ

"Sesungguhnya akan ada sesudahku para pemimpian; siapa saja yang membenarkan kebohongan-kebohongan mereka, dan membantu kezaliman-kezaliman yang mereka lakukan, maka ia bukanlah golonganku, dan aku bukanlah golongannya, sehingga ia tidak akan bertemu dengan aku di telaga surga; sebaliknya siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan-kebohongan mereka, dan tidak membantu kezaliman-kezaliman yang mereka lakukan, maka ia golonganku, dan aku golongannya, sehingga ia akan bertemu dengan aku di telaga surga." (HR. An-Nasa'i dari jalan Ka'ab bin Ujrah).

Kamis, 21 Juli 2011

Tragedi TKI: Ketika Rakyat Miskin Jadi Tumbal Devisa Negara (Al Islam)

Gelar pahlawan devisa yang disematkan pemerintah kepada para TKI semakin terbukti hanya penyedap di atas derita. Adalah Ruyati binti Sapudi, TKI yang bekerja di Arab Saudi menemui nasib naas dipancung atas tuduhan membunuh majikannya.

Eksekusi terhadap Ruyati itu terjadi belum lama sejak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Anggota DPR juga baru melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Eksekusi itu terjadi hanya 5 hari setelah Presiden SBY berpidato di depan Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB (International Labour Organization/ILO). Dalam pidato berjudul Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Eguality di konferensi ILO di Jenewa Swiss itu, dengan lantang dan berani presiden SBY menyampaikan bahwa buruh migran di Indonesia disebut sebagai pahlawan devisa dan sebagai pahlawan mereka yang di rumah. Presiden juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi konvensi TKI. Dengan terjadinya eksekusi itu, wajar bila pidato itu dianggap pepesan kosong, manis di permukaan tapi pahit dalam kenyataan, khususnya bagi tenaga kerja migran Indonesia.

Antara Devisa dan Derita

Dalam pidato pesiden SBY, disebutkan jumlah TKI di luar negeri 3.2771.584 orang (tempointeraktif, 19/11/10). Jumlah itu tersebar di banyak negara. Jika ditambah yang ilegal, jumlah itu bisa lebih besar lagi. Dari jumlah itu mayoritasnya menjadi pekerja sektor informal, berpendidikan rendah, malah ada yang buta huruf. Penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi hingga 78 persen, dan yang paling banyak menjadi pembantu rumah tangga.

Dengan jumlah sebesar itu, jumlah penerimaan devisa negara dari TKI pun sangat besar. Menurut Migrant Care pada tahun 2009 saja, jumlah remitansi yang dikirim TKI ke tanah air mencapai US$ 6,617 miliar (sekitar Rp 60 triliun), jumlah devisa kedua terbesar setelah sektor migas. Bahkan Bank Dunia memprediksi pada tahun 2010 jumlah itu akan naik menjadi sekitar US$ 7,1 miliar.

Yang menyedihkan, dari jumlah itu puluhan ribu orang dari mereka harus menghadapi masalah seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, dokumen tidak lengkap, sakit bawaan, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, majikan meninggal, TKI hamil, komunikasi tidak lancar, tidak mampu bekerja, pulang bawa anak karena perkosaan dan hubungan tak sah, dan lain-lain. Tidak sedikit yang menghadapi kekerasan, penyiksaan bahkan hingga meninggal. Sebagian lain dihukum mati. Saat ini ratusan orang TKI sedang terancam hukuman mati.

Kesengsaraan para TKI tidak saja dialami di luar negeri. Ketika mereka pulang ke tanah air telah bergentayangan mafia yang siap memeras uang para TKI tersebut. Ironisnya pemerasan itu dialami oleh para TKI yang pulang ke tanah air melalui Gedung Pendataan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (GPK TKI) Selapajang di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka dipaksa membayar ongkos pulang yang tarifnya tidak masuk akal dan beragam pungutan liar yang tidak sedikit (kompas.com,2/09/2009). Singkat kata, TKI diperas sampai lemas.

Akar Masalah

Meski banyak TKI yang menghadapi kemalangan seperti itu, tetap saja banyak orang tergiur menjadi TKI di luar negeri. Himpitan kemiskinan, kesulitan hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak di dalam negeri, dan harapan perbaikan nasib, membuat mereka tetap nekat. Apalagi tidak ada jaminan apapun bagi mereka atas pemenuhan kebutuhan pokok mereka, juga jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia memang masih tinggi, mencapai 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen (tribunnews.com, 1/07/2010). Warga pedesaan adalah jumlah warga miskin terbanyak di negeri ini dengan angka 64,23 persen. Sementara 60 persen warga miskin di Indonesia adalah wanita. Dari sisi lapangan kerja, meski menurut pemerintah tingkat pengangguran menurun, tetapi hingga Februari 2011 angkanya masih mencapai 8,12 juta orang.

Semua itu adalah akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, apalagi sistem neoliberal yang kini diterapkan, pemerintah hanya berperan sebagai regulator bukan pelaku dan penanggung jawab perekonomian. Dalam kapitalisme negara tidak berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, begitupun pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya. Rakyat dibiarkan mengais makan sendiri tanpa peran layak dari negara. Maka kebijakan mengirimkan TKI pun terus dijadikan pilihan.

Negeri ini terbilang sangat kaya. Tetapi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan negeri ini tidak terdistribusi secara merata dan adil. Sebaliknya kekayaan justru terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat. Bahkan melalui kebijakan privatisasi, investasi asing, pemberian konsesi pertambangan, dan kebijakan bercorak kapitalisme neo liberal lainnya, kekayaan negeri ini justru lebih banyak dinikmati asing.

Di sisi lain, banyak harta yang berputar di sektor non riil yang tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Akibatnya sektor riil yang berhubungan langsung dengan penciptaan lapangan kerja tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya.

Ringkasnya, di dalam sistem kapitalisme, adanya kemiskinan adalah pasti. Bahkan yang terjadi adalah pemiskinan secara struktural. Pengangguran juga akan tetap jadi masalah. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan tidak ada. Maka jelaslah, bahwa penerapan sistem kapitalisme menjadi aar masalah dari problem TKI selama ini.

Menuntaskan Masalah TKI

Masalah TKI tidak akan bisa dituntaskan selama sistem kapitalisme tetap diadopsi dan diterapkan. Sebab sistem kapitalisme itulah menjadi akar masalahnya. Karena itu jika kita ingin menuntaskan masalah TKI, sistem kapitalisme harus dicampakkan.

Lalu diganti dengan apa? Tentu dengan sistem Islam. Sistem Islam akan mampu menyelesaikan masalah TKI dan masalah lainnya.

Dalam sistem Islam, negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu rakyat. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan secara langsung. Sistem Islam memiliki aturan yang menjamin hal itu bisa dilaksanakan. Diantaranya adalah dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti barang tambang, hutan, dan kekayaan alam lainnya sebagai harta milik publik. Harta itu harus dikelola negara mewakili rakyat, dan hasilnya seratus persen dikembalikan kepada rakyat diantaranya dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan pelayanan lainnya. Hal itu masih ditambah oleh hanyak hukum Islam tentang ekonomi yang menjamin hal itu.

Sementara jaminan pemenuhan kebutuhan pokok ditempuh melalui mekanisme tertentu. Setiap inidvidu, khususnya laki-laki diwajibkan bekerja. Dan negara wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya. Negara juga akan membantu siapapun yang mampu bekerja sehingga ia bisa berusaha, termasuk dengan bantuan modal. Imam Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi 2 dirham kepada seorang Anshor yang datang mengeluhkan kesulitan ekonominya. Nabi saw. berpesan agar satu dirham dipakai untuk membeli kapak untuk mencari kayu di hutan, dan Nabi saw. memerintahkannya agar dia kembali lagi setelah 15 hari. Ketika kembali orang Anshor itu mengatakan bahwa kehidupannya jauh lebih baik.

Dengan sumber daya yang luar biasa negara akan bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan menggerakkan roda perekonomian. Ditambah lagi, dalam sistem Islam sektor non riil dihapuskan. Sehingga semua sumber daya ekonomi akan ditumpahkan ke sektor riil, yang tentu saja akan menciptakan sangat banyak lapangan kerja.

Jika masih ada yang belum tercukupi kebutuhan pokoknya, maka kerabatnya diharuskan untuk menanggungnya sesuai kemampuan mereka (QS al-Baqarah [2]: 233). Jika masih ada yang tidak terpenuhi, maka pemenuhannya menjadi tanggungjawab baitul mal negara. Nabi saw. bersabda:

«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ، وَمَنْ تَرَكَ كَلاًّ فَإِلَيْنَا»

Siapa saja yang meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalka orang yang terlantar maka itu menjadi tanggungan kami (HR al-Bukhari dan Abu Dawud)

Jika pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, begitu pula pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin oleh negara; lapangan kerja juga tersedia secara luas, maka bekerja di luar negeri yang riskan dengan berbagai masalah tidak akan menarik lagi. Dengan begitu problem seperti problem TKI tidak akan muncul. Jika pun kemudian masih ada rakyat yang bekerja di luar negeri, maka negara dengan kemampuannya yang besar akan memberikan perlindungan.

Wahai Kaum Muslim

Jelaslah, hanya dengan penerapan sistem Islam problem TKI bisa dituntaskan. Penerapan sistem Islam tidak mungkin kecuali melalui institusi Khilafah Islamiyah. Maka sudah saatnya kita semua dengan sungguh-sungguh melibatkan diri berpartisipasi dalam perjuangan menegakkkan sistem Islam (syariah) dalam bingkai Khilafah Rasyidah 'ala minhaj an-nubuwah. Menunda-nundanya sama saja memperpanjang probem dan penderitaan bagi umat ini. Relakah kita demikian? Wal-Lâh a'lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam

Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang. (Kompas.com, 26/6)
Konyolnya, pemakaian narkoba dalam jumlah sedikit tidak dianggap pidana. Pantas saja kasus narkoba justru makin menjadi.
Itulah buah menyebarnya sekulerisme, liberalisme dan hedonisne. Itulah akibat diterapkannya kapitalisme.
Terapkan Sistem Islam dalam bingkai Khilafah jika ingin masalah narkoba tinggal sejarah.

Rabu, 20 Juli 2011

Hadis ahli waris

مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَِهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ

Siapa saja yang mati meninggalkan harta, harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang mati meninggalkan utang, atau meninggalkan keluarga [yang tidak mampu], maka datanglah kepadaku dan menjadi kewajibanku (HR Muslim).

Senin, 18 Juli 2011

Mengapa UU SJSN Dan RUU BPJS Harus Ditolak ?


Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). UU tersebut akan menjadi payung hukum pelaksana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebelumnya telah ditetapkan dalam UU SJSN No. 40 tahun 2004. Tidak ada perbedaan antara pemerintah dengan DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan pengelola tersebut. Padahal, jika ditelusuri UU SJSN dan RUU BPJS tersebut sebenarnya mengandung banyak masalah khususnya ditinjau dari perspektif Islam. Hal tersebut antara lain:
1.      UU ini akan semakin membebani hidup rakyat khususnya kelompok menengah ke bawah. UU SJSN telah mewajibkan seluruh rakyat untuk terlibat dalam kepesertaan asuransi ini dengan membayar iuaran/premi secara reguler kepada BPJS. Khusus bagi yang miskin maka iuran tersebut ditanggung oleh negara. Pada Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya Pasal 17 (4): Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. Dengan demikian, karena bersifat wajib maka BPJS memiliki otoritas untuk memaksa orang-orang yang dianggap mampu untuk membayar iuran/premi asuransi termasuk di dalamnya paksaan kepada pemilik perusahaan untuk menarik premi kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Padahal setiap harinya rakyat telah menanggung derita akibat berbagai pungutan baik pajak maupun non pajak yang dibebankan kepada mereka. Belum lagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 per bulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh , karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
2.      UU ini telah mengalihkan tanggungjawab negara dalam pelayanan publik kepada rakyatnya. Dalam penjelasan UU SJSN disebutkan bawah maksud dari prinsip gotong royong dalam UU tersebut adalah peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Dengan demikian, UU ini telah mengalihkan tanggung jawab pelananan publik oleh negara kepada rakyatnya khususnya dalam penyediaan kesehatan. Ini merupakan watak negara kapitalisme yang mengkomersilkan berbagai pelayanan publik. Selain itu, falsafah asuransi ini bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh negara–yang dananya berasal dari orang-orang yang dianggap mampu–hanyalah orang miskin saja. Padahal pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim)
3.      Pengelolaan dan pengembangan dana SJSN pada kegiatan investasi yang batil dan berpotensi merugikan rakyat. Dana asuransi yang terkumpul pada BPJS dapat dikelola secara independen oleh BPJS. Dalam RUU BPJS pasal 8 disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk (b) “menempatkan  dana  jaminan  sosial  untuk  investasi  jangka  pendek  dan  jangka  panjang dengan  mempertimbangkan  aspek  likuiditas,  solvabilitas,  kehati-hatian,  keamanan  dana, dan hasil yang memadai.”Dengan demikian dana tersebut sebagaimana halnya dana asuransi lainnya dapat diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi, deposito perbankan, dan sebagainya. Padahal investasi sendiri bersifat tidak pasti, bisa untung atau rugi. Jika terjadi kerugian maka bebannya akan kembali kepada rakyat. Dalam berbagai krisis finansial di negara-negara barat, tidak terhitung lembaga-lembaga asuransi yang mengalami kerugian besar akibat berinvestasi pada aset-aset finansial yang bersifat spekulatif. Akibatnya dana nasabah berkurang bahkan lenyap. Sebagian dari mereka terpaksa mendapatkan bail-out dari pemerintah yang nota bene berasal dari penarikan pajak dan penambahan utang. Inilah yang menimpa AS dan negara-negara Eropa. Utang mereka membengkak untuk menutupi defisit APBN sangat besar akibat besarnya bail-out yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan finansial termasuk diantaranya perusahaan asuransi.
4. Pembuatan UU SJSN dan RUU BPJS merupakan pesanan asing sejak tahun 2002. Hal ini tertuang dalam dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).  Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Dengan adanya SJSN ini maka dana yang dihimpun oleh BPJS tentunya jumlahnya akan sangat besar. Dana-dana itu pastinya akan ditanamkan di sektor finansial (perbankan dan pasar modal) sehingga akan memperbesar nilai kapitalisasi sektor tersebut. Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika mengalami krisis. Ujung-ujungnya yang menikmati hal tersebut adalah para pemilik modal, investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial.
5.      SJSN berlandaskan konsep asuransi yang bertentangan dengan Islam. Dalam pandangan Islam aqad asuransi adalah batil karena bertentangan dengan konsep pertanggungan (dhaman) dalam Islam.  Syarat-syarat pertangungan (adh-dhamân) sendiri adalah:
a.      Sesuatu yang ditanggung oleh seseorang atau perusahaan merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh yang ditanggung misalnya penanggungan pembayaran utang seseorang yang meninggal dunia. Dalam hal ini utang merupakan sesuatu yang wajib ditunaikan. Sementara dalam tanggungan asuransi adalah sesuatu yang tidak wajib seperti asuransi kematian dan kecelakaan. Disamping itu, beberapa objek tanggungan tersebut merupakan sesuatu yang tidak pasti (gharar) sementara peserta asuransi harus terus membayar premi;
b.      Pihak penanggung tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau premi terhadap pihak yang ditanggung. Dalam asuransi secara reguler perusahaan asuransi mengenakan premi kepada peserta asuransi;
c.       Akad syirkah asuransi harus merupakan akad yang syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam. Yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Nmun demikian dalam asuransi yang adalah syirkah harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga dewan direksi yang mengelola urusan syirkah adalah representasi dari harta mereka bukan repesentasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari mereka yang berserikat dengan badannya, akan tetapi hanya dengan hartanya. Dengan demikian asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta. Dalam konsep SJSN, pimpinan BPJS memang tidak dipilih berdasarkan modal, namun ditetapkan oleh Presiden berdasarkan hasil pilihan DPR. Tapi yang pasti tidak ada aqad syirkah yang berlangsung antara mereka dengan peserta.
d.     Tidak boleh ada investasi harta dengan jalan yang tidak syar’i, melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut investasi ataupun reasuransi. Namun dalam asuransi saat ini, perusahaan asuransi menginvestasikan  dana peserta asuransi pada perbankan ribawi, saham, obligasi yang kesemuanya merupakan transaksi yang batil dalam pandangan syara’.
Dengan demikian, jelaslah bahwa UU SJSN dan RUU BPJS termasuk turunannya merupakan UU yang batil dan bertentangan dengan syariat Islam. Lebih dari itu, UU yang disokong oleh asing ini berupaya untuk menutupi kelemahan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk melayani urusan rakyat dengan melemparkannya kepada rakyat mereka sendiri.
Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan bagi rakyat negeri ini untuk tidak kembali kepada syariat Allah swt di bawah daulah khilafah Islamiyyah. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴿١٦﴾
“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Add This!

Kamis, 14 Juli 2011

Dosa memakan riba

دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

"Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina." (HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,"Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)". Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Rabu, 13 Juli 2011

KONFERENSI RAJAB 1432 H : Seruan Khilafah Menggema di Nusantara


Puluhan Ribu Muslim di Masjid Al-Aqsa Serukan Khilafah, Tolak Demokrasi!







Hds.dosa zina

مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ بِاللهِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ

Tidak ada dosa sesudah syirik kepada Allah yang lebih besar dari dosa orang yang menumpahkan spermanya pada rahim yang tidak halal baginya. (HR. Ibn Abiy Dunya).

Senin, 11 Juli 2011

Kontroversi Fatwa Haram Orang Kaya Menggunakan Premium

Kontroversi Fatwa Haram Orang Kaya Menggunakan Premium

Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pengantar
Setelah pemerintah frustasi, karena rencananya untuk menghapus BBM jenis premium dari tengah masyarakat banyak menghadapi penolakan, termasuk dari para ulama’ dan tokoh-tokoh ormas, maka pemerintah pun menggunakan KH Ma’ruf Amien untuk mengeluarkan fatwa kontroversial  seputar haramnya orang kaya menggunakan premium. Meski istilah “menggunakan KH Ma’ruf Amien” ini ditolak oleh Menteri ESDM, tetapi kesimpulan ini tidak bisa ditolak, karena fatwa ini dinyatakan KH Ma’ruf Amien, setelah pertemuan antara kementerian ESDM dengan MUI (27/6/2011).  Pimpinan PP Tebuireng, Jombang, KH Shalahuddin Wahid, atau akrab dipanggil Gus Sholah, yang juga cucu Hardratus Syaikh Hasyim Asy’ari, menyatakan bahwa fatwa ini bukan merupakan sikap MUI, tetapi masih pandangan pribadi KH Ma’ruf Amien (29/6/2011).
Rencana menghapus BBM jenis premium dari tengah masyarakat ini sebenarnya sudah dirancang oleh pemerintah sejak kementrian ESDM dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro dan bekerjasama dengan DPR kala itu, hingga lahir UU No. 22/2001. Undang-undang ini sendiri didanai USAID, seperti dalam pengakuan mereka, “USAID telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan  efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi).”

Setelah UU ini disahkan, dalam rilisnya, USAID menyatakan, “Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai USD 4 juta (Rp 40 miliar) untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan  kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan. Tidak hanya itu, USAID juga meggelontorkan dana ke sejumlah LSM untuk mendukung rencana mereka, “Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan USD 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal.”
Ternyata semua kebijakan penghapusan BBM jenis premium ini merupakan dampak dari pencabutan subsidi BBM, yang bertujuan untuk meliberalisasi sektor Migas. Semuanya ini tak lain merupakan syarat dari hutang yang diberikan Bank Dunia, sebagaimana yang mereka rilis, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh  ke tangan orang kaya.” (Indonesia Country Assistance Strategy - World Bank, 2001).
Keingan USAID dan Bank Dunia itu tidak bertepuk sebelah tangan. Karena dengan senang hati, pemerintah ketika itu mengikutinya, sebagaimana tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan 2000), “Pada sektor migas, pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.” Ini ditegaskan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) “..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus  secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Ini ditegaskan oleh Menteri ESDM ketika itu, Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003). Bahkan, Dirjen  Migas Kementrian ESDM kala itu, Iin Arifin Takhyan menyatakan, “Saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika)…”
Berbagai kebijakan liberalisasi Migas yang digulirkan sejak tahun 2001 memang tidak bisa berjalan mulus. Meski kenaikan BBM terus merangkak sejak era Megawati, kemudian dilanjutkan pada era SBY-JK dengan menaikkan 100% lebih, ternyata masih belum cukup bagi pemain asing untuk menjalankan bisnis mereka. Mereka pun terus mendesak pemerintah SBY-Budiono untuk segera menjalankan agenda liberalisasi Migas ini, antara lain dengan mencabut subsidi BBM dan menghapus BBM jenis premium. Berbagai dalih dan penyesatan pun dibuat, seperti “Subsidi hanya untuk miskin”, dan terakhir dengan menggunakan fatwa Ma’ruf Amien, yang menyatakan “Haram orang kaya mengambil hak orang miskin.”
Karena itu, fatwa ini harus didudukkan dalam posisi mendukung program liberalisasi migas pemerintah, penghapusan subsidi BBM dan penghapusan BBM jenis premium. Lebih jauh, fatwa ini sebenarnya mendukung program penjajahan Kapitalisme Global, baik melalui lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID maupun perusahaan multinasional, seperti Chevron, Shell, Exxon Mobil Oil, dll. Sebab, produksi Migas Indonesia yang dikuasai asing, seperti Chevron (44%), Total E&P (10%), Conoco Philip (8%), CNOOC (4%), Petro China (3%), British Petrolium (2%), lain-lain (4%) ini tidak akan bisa mengeruk keuntungan maksimal dari Indonesia, kalau masih terhalang kebijakan BBM jenis premium. Sementara Pertamina sendiri hanya menguasai 16% dari total produksi.
Benarkah BBM Premium Hanya Hak Orang Miskin?
Minyak dan gas adalah barang tambang (ma’adin) yang merupakan hak milik umum, baik orang kaya maupun miskin. Ini ditegaskan oleh Nabi dalam sejumlah hadits, antara lain:
النَّاسُ شُرَكَآءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الكَلإِ وَالمَآءِ وَالنَّارِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ)
“Manusia sama-sama membutuhkan tiga hal: padang, air dan api.” (H.r. Ahmad dan Abu Dawud. Tokoh-tokoh perawinya terpercaya [tsiqqat])

Dalam riwayat lain juga dinyatakan hadits yang serupa, dengan redaksi yang agak berbeda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكلإِ وَالْنَّارِ (رواه أحمد وأبو داود، ورواه ابن ماجه من حديث ابن عباس وزاد فيه: وَثَمَنُهُ حَرَامٌ)
“Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: air, padang dan api.” (H.r. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas. Di dalamnya terdapat tambahan, “Harganya haram.”)
Karena ini merupakan hak milik umum, yang sama-sama dibutuhkan oleh semua orang, maka setiap orang, baik kaya maupun miskin, sama-sama berhak untuk menikmati barang milik umum tersebut. Keumuman lafadz “an-Nas” dan “al-Muslimun” tetap berlaku dengan konotasi umum, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan:
اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Lafadz umum tetap dengan konotasi keumumannya, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya.”

Dalam konteks ini tidak ada satu dalil pun yang mengecualikan keumuman lafadz/dalil tersebut. Padahal, melakukan takhshish (pengkhususan) tanpa adanya mukhashish (lafadz/dalil yang mengkhususkan) jelas tidak boleh. Padahal jelas tidak ada dalil yang men-takhshish hadits-hadits di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas. Dengan demikian, mengkhususkan BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin sama dengan melakukan takhshish tanpa adanya mukhashish. Jelas tidak boleh.
Maka, pandangan yang menyatakan bahwa BBM bersubsidi merupakan hak orang miskin, dan karenanya orang kaya haram mengkonsumsinya jelas merupakan pandangan yang batil. Bahkan, kesimpulan seperti ini bukan merupakan kesimpulan hukum syara’, melainkan kesimpulan logika mantik. Kesalahannya terletak pada premis yang menyatakan, bahwa BBM bersubsidi adalah hak orang miskin. Padahal, nas syara’ menyatakan sebaliknya, dimana semua orang mempunyai hak yang sama, baik kaya maupun miskin. Akibat kesalahan presmis tersebut, maka disimpulkan, bahwa orang kaya haram mengkonsumsinya. Sebab, dianggap mengambil hak orang miskin. Ini jelas kesimpulan yang batil.
Membatasi BBM Bersubsidi Bukan Pengaturan
Alasan lain yang dikembangkan adalah, bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk kemaslahatan publik, sebagaimana kaidah:
تَصَرُّفُ الإمَامِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan (kebijakan) imam (khalifah/kepala negara) terikat dengan kemaslahatan (rakyat).”
Tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal ini harus dibedakan, antara tasyri’i (legislasi) dan ijra’i (administratif). Mengubah kepemilikan yang diatur syariah, dari kepemilikan umum menjadi milik negara (nasionalisasi) atau individu (privatisasi) adalah bentuk tasyri’i, yang jelas menyimpang dari ketentuan syariah. Demikian juga membatasi BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin adalah bentuk tasyri’i, yang juga menyimpang dari ketentuan syariah. Maka, tindakan pemerintah seperti ini merupakan pelanggaran terhadap syariah. Dengan alasan apapun, pelanggaran syariah tetaplah pelanggaran. Tidak bisa dicarikan pembenaran sebagai bentuk pengaturan.
Ini berbeda dengan tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal administratif, seperti peraturan lalulintas, SIM, KTP dan sebagainya, maka tindakan dalam konteks ini benar-benar merupakan bentuk pengaturan yang dibolehkan. Mengikuti dan metaatinya pun wajib, karena dalam konteks ini merupakan masalah admistratif.
Di Balik Dalih Pengaturan BBM Bersubsidi
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan fatwa haramnya orang kaya mengkonsumsi BBM jenis premium. Sekali lagi, fatwa ini hanyalah stempel pemerintah dalam melegalkan kebijakan liberalisasi sektor Migas. Jika harus dikeluarkan fatwa, semestinya fatwa yang mengharamkan liberalisasi ekonomi, termasuk sektor Migas yang menjadi penyebab terjadinya kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini. Jika harus dikeluarkan fatwa, mestinya fatwa yang mengharamkan hutang, baik kepada IMF, Bank Dunia maupun USAID, yang menjadi otak lahirnya kebijakan liberalisasi Migas ini.
Karena itu, fatwa seperti ini, selain tidak ada nilainya di dalam Islam, juga bertentangan dengan syariah. Tidak hanya itu, fatwa ini juga bisa membukan jalan orang-orang Kafir untuk menguasai sektor strategis, yaitu Migas. Sekaligus melanggengkan penjajahan mereka terhadap negeri Muslim terbesar ini. Ini jelas haram. Pertama, karena haram hukumnya memberi jalan orang Kafir untuk menguasai kaum Muslim. Allah berfirman:
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang Mukmin.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141)

Kedua, membantu mereka untuk menguasai kaum Muslim juga haram, sebagaimana ditegaskan oleh Allah:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam (melakukan) dosa dan permusuhan.” (Q.s. al-Maidah [05]: 02)
Bagaimana Seharusnya?
Barang-barang milik umum seharusnya ini tidak boleh dialihkan, baik sebagai milik negara (nasionalisasi) maupun individu (privatisasi). Negara dalam konteks ini hanya berfungsi sebagai pengelola hak milik umum ini agar barang-barang tersebut sampai kepada pemiliknya dengan harga yang murah dan terjangkau.
Memang tidak ada larangan bagi negara untuk menetapkan harga migas mengikuti harga pasar atau harga tertentu yang rasional, tetapi seluruh kebijakan tersebut bukan untuk keuntungan pemerintah (negara) atau asing (privat), karena barang tersebut bukan milik mereka. Jika pemerintah (negara) harus menempuh kebijakan yang kedua ini, maka hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, melalui penyediaan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Termasuk jaminan terpenuhinya sandang, papan dan pangan melalui pembukaan lapangan kerja yang memadai.
Apa yang ditempuh oleh pemerintah (negara) saat ini justru merugikan rakyat. Karena, selain BBM murah dihilangkan, maka keuntungan dari kenaikan harga BBM itu juga tidak dikembalikan kepada rakyat. Sebab, subsidi kesehatan, pendidikan dan layanan yang lain justru dipangkas. Artinya, kenaikan harga, dihilangkannya BMM murah dan rakyat dipaksa mengkonsumsi BBM jenis Pertamax jelas-jelas untuk kepentingan asing. Ini jelas haram.

Menghitung Zakat Perdagangan

Menghitung Zakat Perdagangan

Tanya :
bagaiamana cara menghitung zakat perdagangan? Bagaimana kalau pedagang punya utang atau piutang?
Jawab :
Zakat barang dagangan (zakah ‘urudh al-tijarah) adalah zakat yang wajib dikeluarkan untuk setiap barang yang dimaksudkan untuk perdagangan. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 179; Said Qahthani, Zakat ‘Urudh Al-Tijarah, hal. 5; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 3/223).
Hukumnya wajib berdasar As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat. (Taqiyuddin Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/103). Dalil As-Sunnah, diriwayatkan dari Samurah bin Jundub RA, dia berkata,”Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kita mengeluarkan zakat dari barang yang kita siapkan untuk perdagangan.” (HR Abu Dawud).
Dalil Ijma’ Shahabat, diriwayatkan dari Abu ‘Amar bin Hamas dari ayahnya, dia berkata, “Umar bin Khathab memerintahkan aku dengan berkata, ‘Tunaikan zakat hartamu!’ Aku menjawab, ‘Aku tak punya harta selain tempat anak panah dan kulit.’ Umar berkata, ‘Nilailah harta itu dan keluarkan zakatnya!’ (HR Ahmad & Daruquthni). Ibnu Qudamah berkomentar kisah ini masyhur dan tak ada seorang shahabat pun yang mengingkarinya sehingga terwujud Ijma’ Shahabat dalam masalah ini. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 3/35; Yusuf Qaradhawi, Fiqh Az-Zakah, 1/302).
Zakat perdagangan wajib dikeluarkan jika memenuhi dua ketentuan; Pertama, nilai barang dagangan mencapai nishab emas (20 dinar = 85 gram emas) atau nishab perak (200 dirham = 595 gram perak). Kedua, telah berlalu haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Besarnya zakat 2,5 persen dari total harta (nilai barang dagangan plus laba). (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 180).
Contoh, Ahmad mulai berdagang 1 Muharram 1432 H dengan harta yang nilainya kurang dari nishab (misal 10 dinar), lalu di akhir haul (1 Muharram 1433 H) hartanya baru mencapai nishab (20 dinar). Maka dia belum wajib berzakat pada 1 Muharram 1433 H itu, karena hartanya belum haul. Ahmad baru wajib berzakat setelah hartanya memenuhi haul, yaitu setahun berikutnya pada 1 Muharram 1434 H.
Contoh lain, Ahmad mulai berdagang 1 Muharram 1432 H dengan harta yang nilainya sudah melebihi nishab (misal 1.000 dinar). Pada akhir haul (1 Muharram 1433 H) nilai hartanya bertambah menjadi 3.000 dinar. Maka ia wajib berzakat dari harta yang 3.000 dinar ini, bukan dari yang 1.000 dinar.
Besarnya zakat perdagangan 2,5 persen dari total nilai barang dagangan termasuk labanya. Misal pada akhir haul nilai seluruh barang dagangan plus laba 4.000 dinar. Maka zakatnya 2,5 persen dari 4.000 dinar, yaitu 100 dinar. Zakat ini boleh dikeluarkan dalam bentuk mata uang yang beredar atau dalam bentuk barang yang diperdagangkan. (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 180).
Jika pedagang punya utang, dihitung dulu sisa harta setelah utangnya dibayar. Jika hartanya telah memenuhi dua ketentuan (nishab dan haul), tapi sisa hartanya kurang dari nishab, dia tak wajib berzakat. Misal nilai hartanya 40 dinar, utang 30 dinar. Maka sisa hartanya (10 dinar) kurang dari nishab (20 dinar), sehingga tak wajib berzakat. Jika sisa harta lebih dari nishab, tetap wajib berzakat. Misal nilai hartanya 40 dinar, utang 10 dinar. Maka sisa hartanya (30 dinar) masih melebihi nishab (20 dinar), sehingga tetap wajib berzakat.
Jika ia punya piutang di tangan orang lain, harus dilihat dulu. Jika orang lain itu mampu dan tidak suka menunda pembayaran utang, piutang itu tetap wajib dizakati. Jika orang itu tak mampu atau suka menunda pembayaran utang, piutang itu tak wajib dizakati. (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 182). Wallahu a’lam. (siddiq aljwaie)

Sabtu, 09 Juli 2011

Wajib membaiat seorang khalifah

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), ia mati seperti kematian Jahiliah (HR Muslim).

Kamis, 07 Juli 2011

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

Definisi Aurat

Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai' al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah 'awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).

Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, "'al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu."

Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)".

Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata," Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat."

Dalam kamus Lisaan al-'Arab juz 4/616, disebutkan, "Kullu 'aib wa khalal fi syai' fahuwa 'aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu'wirun au 'awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan))."

Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;

"Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A'masy membacanya dengan huruf wawu difathah; 'awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim."

Batasan Aurat bagi Wanita

Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi'iy

Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;

"Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan."

Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-'Ulama berkata;

".. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan."

Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;

"..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan."

Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;

" ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan."

Al-Dimyathiy, dalam kitab I'aanat al-Thaalibiin, menyatakan;

"..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan".

Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;

" …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…"

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy

Di dalam kitab al-Mubadda', Abu Ishaq menyatakan;

"Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, "Seluruh badan wanita adalah aurat" [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya."[1]

Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa

" Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza'iy, dan Syafi'iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…"

Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;

"Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama….."

Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy

Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ""Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..".

Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, "Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…"

Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, "Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…"

Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, "….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan.."

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy

Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;

"Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi'iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…"[2]

Dalam kitab Badaai' al-Shanaai' disebutkan;

"Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi'iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat." Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat."[3]

Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan

Jumhur 'ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31]

Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk "perhiasan yang biasa tampak" adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

"Wahai Asma' sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya."[HR. Muslim]

Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa maksud frase "illa ma dzahara minha" adalah dzaahir al-ziinah" (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa'id bin Jabiir, 'Atha' dan Auza'iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.

Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan "al-ziinah" (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan "al-ziinah" (perhiasan) di sini adalah "mawaadli' al-ziinah" (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah "janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki"[4].

Syarat-syarat Menutup Aurat

Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan "satru al-'aurat" (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra, ra bahwasanya Asma' binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, "Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini."

Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma' belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis." Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah

Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.

Dalam konteks "menutup aurat" (satru al-'aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.

Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.

Perintah Mengenakan Khimar

Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.."[al-Nuur:31]

Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.

Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-'Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]

Khimar (kerudung) adalah ghitha' al-ra'si 'ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]

Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;

"Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna' (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar).."[7]

Ibnu al-'Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, "Jaib" adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, "Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka", mereka membelah kain selendang mereka". Di dalam riwayat yang lain disebutkan, "Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya." Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki."[8]

Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Adapun yang dimaksud dengan frase "fakhtamarna bihaa" (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu' (berkerudung). Al-Farra' berkata,"Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan 'imamah (sorban) bagi laki-laki." [9]

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;

"Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana'), Sa'id bin Jabir berkata, "wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna 'ala juyuubihinna, ya'ni 'ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya)."[10]

Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;

"Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath'u min dur'u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak".[11]

Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;

"Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna') di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka."[12]

Perintah Mengenakan Jilbab

Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[al-Ahzab:59]

Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula'ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung."[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, "jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula'ah (baju kurung)."[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]

Di dalam kamus Lisaan al-'Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa' min al-khimaar duuna ridaa' tughthi bihi al-mar`ah ra'sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa', yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya." Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi' duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]

Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, "Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida' (juba).[14]

Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, "Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, jilbaab adalah ridaa' (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa' (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii' al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu 'Athiyyah, bahwasanya ia berkata, "Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,"Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya".[15]

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, "al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa'id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha'iy, 'Atha' al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, "al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung)."[16]

Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;

"Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, "al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa' (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii' al-badan al-mar`ah."[17]

Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;

" Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak"[18]

Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian."[HR. Imam Muslim].

Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, "Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian 'ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta."

Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

"Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia "[HR. Imam Ahmad]

Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.

Kesimpulan

Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-'aurat (menutup aurat).

Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.

Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]

[1] Abu Ishaq, al-Mubadda', juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86

Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43

[3] al-Kaasaaniy, Badaai' al-Shanaai', juz 5/123

[4] Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma'aaniy, juz 18/140, dituturkan, "Diungkapkan dengan perkataan "al-ziinah" (perhiasan), bukan "anggota tubuh tempat menaruh perhiasan", ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam hal perintah untuk menutup aurat.. Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan.. Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, "illa ma dzahara minhaa" diartikan muka dan kedua telapak tangan.

[5] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 4/257

[6] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336

[7] al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311

[8] Ibnu al-'Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369

[9] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106

[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182

[11] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23

[12] Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh al-Ma'aaniy, juz 18/142

[13] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 1/272

[14] Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz

[15] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243

[16] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519

[17] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/304

[18] Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560

Kemulian itu milik Allah

]وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُون[

Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin. Namun, orang-orang munafik tidak mengetahuinya (QS al-Munafiqun [63]: 8).

Rabu, 06 Juli 2011

Ru'yattul hilal

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
Berpuasalah kamu karena melihat hilal (ru'ya.t al-hilal) dan berbukalah kamu karena melihatnya

Ayat tentang khilafah

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh diantara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan Aku dengan sesuatu (apa)pun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (TQS. an-Nur [24]: 55)

Janji tentang kekhilafahan

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء ما يرفعها ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت

Masa kenabian akan berlangsung di tengah-tengah kalian sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa ke-Khilafahan yang mengikuti manhaj kenabian selama masa yang diikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan yang zhalim (mulkan 'adlan) selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasan diktator bengis (mulkan jabariyyan) selam masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Setelah itu akan datang (kembali) masa ke-Khilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah terdiam. (HR. Ahmad)

Senin, 04 Juli 2011

3 IPA 2011/2012

No Nama Siswa
1 Dela Puspita Sari
2 Ditta oktalia Putri
3 Efriyandy Zarman
4 Gusti Randa
5 Hafizhul Hidayat
6 Hilmi Syarif
7 Ilham Saputra
8 Ìra mayuni
9 Isna Hilmi
10 Ita Novita Sari
11 kurnia Adriansyah
12 M.Iqbal
13 Meri Anggraini
14 M. Ihsan
15 Noviyanti Rachmi
16 Panji Satria Akbar
17 Rahmad Efendi
18 Rahmad Maulana
19 Rahmat Syafrizal
20 Reni Yuspita/tawa
21 Reza Rahmawati
22 Ronal afriko
23 Rozi Asmalinda
24 Utari Rahmi
25 Widia Friska Lolita
26 Yudina Harmi Putri
27 Putri andini