Senin, 16 Januari 2012

Merayakan Natal Dalam Pandangan Para Ulama

HTI-Press. Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang tidak mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal Bersama yang tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi dan persatuan kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin runyam ketika ada sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi sikap tersebut dengan berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian rupa. Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan natal dan hari raya agama-agama lainnya?

Haram Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (Qs.Al Furqon: 72).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata,
لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam [19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah [5]: 72).
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb. (Ustadz Rokmat S. Labib).

Hizbut Tahrir Seru Deklarasikan Khilafah Islam Dari Mesir


Hizbut Tahrir mendesak Dewan Militer untuk berpihak pada kehendak rakyat Mesir, yang tidak akan pernah menerima pengganti sistem pemerintahan Islam yang tidak mungkin diwujudkan dengan sempurna kecuali melalui Negara Khilafah Rasyidah yang mampu membuat Mesir menjadi negara nomor satu di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pemilihan parlemen tahap tiga. Dan ini merupakan kesempatan emas untuk mengokohkan Islam melalui pemerintahan dan pembentukan negara yang hak yang dikehendaki oleh Allah.
Hizbut Tahrir menyerukan semua kekuatan untuk bekerja sama dengannya dan mendukung konstitusi yang telah disiapkannya untuk mendeklarasikan Khilafah Islam yang sesuai metode kenabian.
Hizbut Tahrir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kekuatan politik, partai-partai liberal, dan Dewan Militer tidak ingin konstitusi yang Islam, yang mencerminkan perasaan sebagian besar rakyat Mesir yang merindukan tegaknya aturan Islam melalui Negara Khilafah Islam. Mereka mencari berbagai cara untuk memaksakan visi mereka terhadap Konstitusi yang akan datang, awalnya melalui usaha Dewan Militer untuk membuat sebuah dokumen damai untuk meletakkan dasar negara sipil sekuler demokrasi yang mengikat. Dan ketika gagal terpaksa ke rencana B, yaitu Dewan Penasehat yang berusaha menjadikannya sekutu bagi Dewan Rakyat dalam penyusunan Konstitusi, namun usahanya ini gagal juga. Untuk itu harus memanfaatkannya dalam penyusunan aturan pemilihan anggota non-parlemen di Dewan Legislatif agar faksi Islam tidak sendirian dalam menyusun Konstitusi .
Pernyataan itu menjelaskan bahwa anggapan Pasal II Konstitusi itu sudah cukup untuk menjadikan Islam tegak adalah anggapan yang salah. Sebab, pasal itu mengatakan bahwa “dasar-dasar” syariah adalah dasar-dasar keadilan dan kesetaraan. Ini sebuah kata umum yang sama sekali tidak berguna, dan pasal itu tidak mengatakan hukum Islam. Begitu juga kata “sumber utama konstitusi” tidak menutup kemungkinan penggunaan sumber lain selain Islam.
Pernyataan itu menekankan perlunya untuk menjaga konstitusi Islam. Dan ini tidak akan mungkin kecuali dengan cara “menjadikan pasal pertama, yaitu akidah Islam adalah dasar negara”. Dengan demikian akidah Islam akan menjadi dasar legislasi konstitusi.
Pernyataan itu menegaskan bahwa status kaum Koptik di Mesir akan menjadi rakyat negara Islam seperti rakyat yang lain. Mereka memiliki hak yang dijamin secara hukum, seperti hak perlindungan, hak jaminan hidup, dan hak perlakuan yang baik; mereka berhak untuk berpartisipasi dalam tentara kaum Muslim dan berperang di pihak kaum Muslim, namun bagi mereka perang tidak wajib; dan mereka juga berhak mendapatkan keadilan seperti kaum Muslim, dan mereka wajib berbuat adil seperti kaum Muslim (almesryoon.com, 7/1/2012).

Hukum Mengugugurkan Janin Cacat


Tanya :
Ustadz, ada kasus janin berusia lima bulan ternyata diketahui cacat (tak mempunyai tempurung otak) lewat foto empat dimensi. Diperkirakan akan ada kesulitan dalam proses kelahiran karena tak ada dorongan dari kepala, dan umurnya pun diperkirakan hanya 24 jam. Bolehkah janin cacat itu digugurkan?
Andi, Bogor
Jawab :
Menggugurkan janin cacat sebagaimana yang ditanyakan di atas hukumnya haram. Sebab syara’ telah mengharamkan pengguguran janin yang telah mencapai usia 120 hari (empat bulan), yaitu setelah ditiupkannya ruh (nyawa) pada janin. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha tanpa ada perbedaan pendapat. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh, hlm. 14; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 162; Ali Ahmad As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyah Al Mu’ashirah, hlm. 701; Ahmad bin Abdullah Adh Dhuwaihi, Al Qawa’id Al Fiqhiyah Al Hakimah Li Ijhadh Al Ajinnah Al Musyawwahah, hlm. 20).
Dalil keharamannya firman Allah SWT (artinya) : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” (TQS Al An’am [6] : 151).
Ayat ini merupakan dalil umum yang mengharamkan setiap pembunuhan terhadap jiwa (an nafs). Maka dari itu, pengguguran janin cacat yang telah mencapai usia 120 hari (empat bulan) hukumnya haram, karena termasuk dalam pembunuhan yang dilarang dalam ayat ini.
Adapun kecacatan pada janin, menurut kami, tak dapat dijadikan alasan untuk keluar dari hukum haram ini, baik cacat ringan seperti bibir sumbing, jumlah jari kaki atau tangan yang tak normal (kurang/berlebih), maupun cacat berat seperti janin yang dipastikan akan segera mati setelah dilahirkan akibat cacat jantung, paru-paru, atau ginjal. Kecacatan ini, menurut kami, tak dapat dijadikan alasan yang membolehkan pengguguran janin cacat, sebab tak terdapat dalil syar’i yang mendasarinya, baik dalil Alquran ataupun hadits.
Memang sebagian ulama membolehkan menggugurkan janin yang cacat berat jika belum berusia 120 hari, dengan alasan kaidah fiqih : yukhtaru ahwanu as syarrain (dipilih bahaya lebih ringan di antara dua bahaya yang ada). Menurut mereka, kematian janin cacat segera setelah lahir adalah suatu bahaya, sebagaimana menggugurkannya juga suatu bahaya. Maka dipilih menggugurkan sebelum 120 hari karena dianggap lebih ringan bahayanya. (Ali Ahmad As Salus, ibid., hlm. 701; Ahmad bin Abdullah Adh Dhuwaihi, ibid., hlm. 20).
Pendapat ini tak dapat diterima, sebab terdapat dalil syar’i yang mengharamkan pengguguran janin yang telah berusia 42 (empat puluh dua) hari atau 40 (empat puluh) hari. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda,”Jika nutfah telah melalui empat puluh dua malam, Allah mengutus satu malaikat kepadanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut, dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya…” (HR Muslim). Dalam riwayat lain,”Jika nutfah telah melalui empat puluh malam…”
Hadits ini menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya seperti mata, telinga, kaki, kuku, tangan, dan sebagainya terjadi setelah nutfah melewati 40 atau 42 malam. Maka menggugurkan janin yang telah mencapai usia ini hukumnya haram, sama haramnya dengan menggugurkan janin yang telah berusia 120 hari. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 162).
Namun demikian, jika keberadaan janin dalam kandungan ibu dapat mengakibatkan kematian ibu dan sekaligus kematian janin itu, maka penguguran janin yang mencapai usia 120 hari dibolehkan, baik janin itu cacat maupun tidak cacat, sebab terdapat dalil syar’i yang membolehkannya. Antara lain kaidah fiqih : idzaa ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima. (Jika terdapat dua bahaya yang bertentangan, maka dicari yang lebih besar bahayanya dengan mengambil bahaya yang lebih ringan di antara keduanya). (Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir fi Al Furu’, hlm. 87). Wallahu a’lam.