Senin, 18 Juli 2011

Mengapa UU SJSN Dan RUU BPJS Harus Ditolak ?


Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). UU tersebut akan menjadi payung hukum pelaksana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebelumnya telah ditetapkan dalam UU SJSN No. 40 tahun 2004. Tidak ada perbedaan antara pemerintah dengan DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan pengelola tersebut. Padahal, jika ditelusuri UU SJSN dan RUU BPJS tersebut sebenarnya mengandung banyak masalah khususnya ditinjau dari perspektif Islam. Hal tersebut antara lain:
1.      UU ini akan semakin membebani hidup rakyat khususnya kelompok menengah ke bawah. UU SJSN telah mewajibkan seluruh rakyat untuk terlibat dalam kepesertaan asuransi ini dengan membayar iuaran/premi secara reguler kepada BPJS. Khusus bagi yang miskin maka iuran tersebut ditanggung oleh negara. Pada Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya Pasal 17 (4): Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah. Dengan demikian, karena bersifat wajib maka BPJS memiliki otoritas untuk memaksa orang-orang yang dianggap mampu untuk membayar iuran/premi asuransi termasuk di dalamnya paksaan kepada pemilik perusahaan untuk menarik premi kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Padahal setiap harinya rakyat telah menanggung derita akibat berbagai pungutan baik pajak maupun non pajak yang dibebankan kepada mereka. Belum lagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 per bulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh , karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
2.      UU ini telah mengalihkan tanggungjawab negara dalam pelayanan publik kepada rakyatnya. Dalam penjelasan UU SJSN disebutkan bawah maksud dari prinsip gotong royong dalam UU tersebut adalah peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Dengan demikian, UU ini telah mengalihkan tanggung jawab pelananan publik oleh negara kepada rakyatnya khususnya dalam penyediaan kesehatan. Ini merupakan watak negara kapitalisme yang mengkomersilkan berbagai pelayanan publik. Selain itu, falsafah asuransi ini bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh negara–yang dananya berasal dari orang-orang yang dianggap mampu–hanyalah orang miskin saja. Padahal pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim)
3.      Pengelolaan dan pengembangan dana SJSN pada kegiatan investasi yang batil dan berpotensi merugikan rakyat. Dana asuransi yang terkumpul pada BPJS dapat dikelola secara independen oleh BPJS. Dalam RUU BPJS pasal 8 disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk (b) “menempatkan  dana  jaminan  sosial  untuk  investasi  jangka  pendek  dan  jangka  panjang dengan  mempertimbangkan  aspek  likuiditas,  solvabilitas,  kehati-hatian,  keamanan  dana, dan hasil yang memadai.”Dengan demikian dana tersebut sebagaimana halnya dana asuransi lainnya dapat diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi, deposito perbankan, dan sebagainya. Padahal investasi sendiri bersifat tidak pasti, bisa untung atau rugi. Jika terjadi kerugian maka bebannya akan kembali kepada rakyat. Dalam berbagai krisis finansial di negara-negara barat, tidak terhitung lembaga-lembaga asuransi yang mengalami kerugian besar akibat berinvestasi pada aset-aset finansial yang bersifat spekulatif. Akibatnya dana nasabah berkurang bahkan lenyap. Sebagian dari mereka terpaksa mendapatkan bail-out dari pemerintah yang nota bene berasal dari penarikan pajak dan penambahan utang. Inilah yang menimpa AS dan negara-negara Eropa. Utang mereka membengkak untuk menutupi defisit APBN sangat besar akibat besarnya bail-out yang mereka lakukan terhadap perusahaan-perusahaan finansial termasuk diantaranya perusahaan asuransi.
4. Pembuatan UU SJSN dan RUU BPJS merupakan pesanan asing sejak tahun 2002. Hal ini tertuang dalam dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).  Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Dengan adanya SJSN ini maka dana yang dihimpun oleh BPJS tentunya jumlahnya akan sangat besar. Dana-dana itu pastinya akan ditanamkan di sektor finansial (perbankan dan pasar modal) sehingga akan memperbesar nilai kapitalisasi sektor tersebut. Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika mengalami krisis. Ujung-ujungnya yang menikmati hal tersebut adalah para pemilik modal, investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial.
5.      SJSN berlandaskan konsep asuransi yang bertentangan dengan Islam. Dalam pandangan Islam aqad asuransi adalah batil karena bertentangan dengan konsep pertanggungan (dhaman) dalam Islam.  Syarat-syarat pertangungan (adh-dhamân) sendiri adalah:
a.      Sesuatu yang ditanggung oleh seseorang atau perusahaan merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh yang ditanggung misalnya penanggungan pembayaran utang seseorang yang meninggal dunia. Dalam hal ini utang merupakan sesuatu yang wajib ditunaikan. Sementara dalam tanggungan asuransi adalah sesuatu yang tidak wajib seperti asuransi kematian dan kecelakaan. Disamping itu, beberapa objek tanggungan tersebut merupakan sesuatu yang tidak pasti (gharar) sementara peserta asuransi harus terus membayar premi;
b.      Pihak penanggung tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau premi terhadap pihak yang ditanggung. Dalam asuransi secara reguler perusahaan asuransi mengenakan premi kepada peserta asuransi;
c.       Akad syirkah asuransi harus merupakan akad yang syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam. Yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Nmun demikian dalam asuransi yang adalah syirkah harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga dewan direksi yang mengelola urusan syirkah adalah representasi dari harta mereka bukan repesentasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari mereka yang berserikat dengan badannya, akan tetapi hanya dengan hartanya. Dengan demikian asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta. Dalam konsep SJSN, pimpinan BPJS memang tidak dipilih berdasarkan modal, namun ditetapkan oleh Presiden berdasarkan hasil pilihan DPR. Tapi yang pasti tidak ada aqad syirkah yang berlangsung antara mereka dengan peserta.
d.     Tidak boleh ada investasi harta dengan jalan yang tidak syar’i, melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut investasi ataupun reasuransi. Namun dalam asuransi saat ini, perusahaan asuransi menginvestasikan  dana peserta asuransi pada perbankan ribawi, saham, obligasi yang kesemuanya merupakan transaksi yang batil dalam pandangan syara’.
Dengan demikian, jelaslah bahwa UU SJSN dan RUU BPJS termasuk turunannya merupakan UU yang batil dan bertentangan dengan syariat Islam. Lebih dari itu, UU yang disokong oleh asing ini berupaya untuk menutupi kelemahan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk melayani urusan rakyat dengan melemparkannya kepada rakyat mereka sendiri.
Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan bagi rakyat negeri ini untuk tidak kembali kepada syariat Allah swt di bawah daulah khilafah Islamiyyah. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴿١٦﴾
“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Add This!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar